Dua Pastor Di Timika Ajak Umat Maknai Minggu Palma Dengan Mengampuni
Suasana misa Minggu Palma di Gereja Katolik Katedral Tiga Raja, umat membawa daun palma untuk diberkati pastor
MIMIKA, BM
Minggu Palma merupakan peringatan masuknya Yesus ke Yerusalem. Ribuan umat Katolik di Kabupaten Mimika begitu antusias mengikuti Misa Minggu Palma di Gereja Katolik Katedral Tiga Raja dan Santo Stefanus Sempan pada Minggu (13/4/2025).
Di Gereja Katolik Katedral Tiga Raja umat mengikuti prosesi pemberkatan daun palem di sekitaran halaman sekolah SD YPPK Waonaripi yang dipimping oleh, Pastor Rinto Dumatubun,Pr.
Sementara di Gereja Santo Stefanus Sempan dilaksanakan di pelataran gereja dan dipimpin oleh Pastor Paroki Gabriel Ngga, OFM.
Usai pemberkatan daun palma, kemudian dilanjutkan dengan perarakan menuju dalam gereja untuk misa.
Dalam homilinya yang diambil dari Injil Lukas 19:28-40. Pastor Rinto mengisahkan sengsara Yesus dan mengajak umat untuk merenungkan bagaimana orang yang tak bersalah sedikitpun dihukum tetapi masih memiliki hati yang tulus untuk mengampuni.
Kisah tentang Yesus yang rela menanggung semua penderitaan dimana IA disalibkan tanpa mengeluarkan keluhan dan tidak berusaha melarikan diri dari situasi yang dialami demi keselamatan orang lain.
Bahkan ketika menghembuskan nafas-Nya di kayu salib, Yesus masih meminta kepada Bapa-Nya untuk mengampuni mereka yang bersalah dengan berkata “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat”.
"Permohonan ini disampaikan kepada Bapa-Nya bagi mereka yang bertanggungjawab terhadap tragedi Penyaliban-Nya. Yesus memberikan pengampunan bagi mereka sebelum para pelaku tindakan kejahatan ini bertobat," kata Pastor Rinto.
Pastor Rinto menambahkan, Yesus yang semula disambut dengan suka cita menjalani proses pengadilan yang tidak manusiawi dan dicap sebagai penjahat melebihi Barabas di hadapan khalayak ramai, diejek oleh para pemuka agama Yahudi, prajurit dan salah seorang penjahat yang disalibkan bersama-Nya di bukit Golgota.
"Yesus yang mengalami berbagai proses ketidakadilan mulai dari penangkapa-Nya sampai pada diadili dan penyaliban seharusnya menjadi dasar bagi kita yang terkadang mengalami penderitaan akibat dari ketidakadilan yang dibuat orang lain bagi kita. Artinya, bahwa kita harus berdoa bagi mereka yang menyebabkan penderitaan yang kita alami," ucapnya.
Ia mengatakan itulah konsekuensi yang dipegang sebagai pengikut Yesus karena dengan berbuat baik dan berdoa serta mengampuni di saat penderitaan maka rasa sakit yang disebabkan orang lain itu menunjukkan iman kepada Allah melalui Yesus Kristus terutama dalam menyongsong Pekan Suci.
“Marilah kita membawa daun palem dan menaruh di rumah kita agar ketika kita melihatnya hal ini mengingatkan bahwa Yesus adalah Raja yang memiliki hati mengampuni atas segala perbuatan kita yang tidak berkenan kepada-Nya. Seharusnya kita memiliki sikap mengampuni karena Sang Raja kita Yesus telah memberikan teladan yang penting bagi kita," katanya.
Lanjutnya, memberikan pengampunan kepada orang yang telah menyebabkan pendertitaan memang tidak mudah, karena itu sangat sakit.
"Mari kita terus belajar mengampuni, sebagaimana Kristus telah mengampuni kita," tandas Pastor Rinto.
Perayaan Misa Minggu Palma Di Gereja Santo Stefanus Sempan
Pastor Gaby saat memberkati daun palma umat
Sementara itu, ditempat berbeda di Santo Stefanus Sempan, Pastor Gabriel Ngga, OFM atau yang lebih akrab disapa Pastor Gaby mengatakan mengenangkan peristiwa Yesus masuk ke kota Yerusalem terdapat dua suasana yang terekam.
“Dalam perjalanan menuju Yerusalem, Yesus di elu-elukan dengan penuh sukacita, penuh kegembiraan. IA dielukan sebagai raja. Tetapi, begitu memasuki kota Yerusalem IA justru dianggap sebagai penjahat dihina, ditangkap disengsarakan bahkan mati mengenaskan di salib. Itu nampak didalam injil hari ini,” tuturnya.
Lanjutnya, disatu pihak mengimani Kristus sebagai Raja yang harus dipuji dan muliakan dengan penuh semangat dan kegembiraan tetapi dilain pihak sesungguhnya terus menghina Dia. Melihat-Nya sebagai penjahat.
“Mengapa? Karena sering apa yang kita ucapkan dimulut sering bertentangan atau lain dengan apa yang dilakukan atau apa yang dibuat dalam hidup kita,” ucapnya.
Pastor Gaby kemudian mengatakan melihat situasi saat ini boleh dikatakan mengimani Yesus yang adalah Raja Damai berharap agar Papua itu shalom damai tetapi karena kepentingan ekonomi, politik, kekuasaan atau keegoisan terjadi kekacauan, konflik dan permusuhan.
“Egoisme kita yang begitu tinggi sehingga iman akan Yesus yang adalah Raja tidak atau sulit sekali mengakar, bertumbuh dan berbuah didalam hidup kita sehari-hari. Sehingga didalam relasi sehari-hari sering tidak menampakkan iman akan Yesus sebagai Sang Juru Selamat kita itu. Yesus sebagai Raja Damai,” imbuhnya.
Pastor Gaby menuturkan meskipun Dia disengsarakan, dipukul, dihina dan bahkan mati mengenaskan diatas kayu salib, Dia juga tetap diakui sebagai raja maka diatas salib-Nya diberitahukan “Inilah Raja Orang Yahudi”.
“Jadi, Yesus baik dalam hidup maupun dalam mati-Nya Dia adalah Raja. Raja diatas segala Raja. Kepada Dia inilah yang kita imani,” ucapnya.
Dalam mempersiapkan memasuki Pekan Suci ini Pastor Gaby berpesan agar Yesus Sang Raja itu betul-betul masuk kedalam diri umat dan merajai hidup umat agar sungguh-sungguh menjadi pribadi pengikut Yesus Kristus yang konsisten dalam relasi terhadap sesama.
“Sehingga oleh karena kehadiran kita dunia ini selalu diwarnai suatu suasana penuh kekeluargaan, persaudaraan dan kedamaian, saling memaafkan saling mengampuni,” tandasnya.
“Bukankah Yesus didalam situasi yang begitu kritis, sengsara masih sempat memaafkan orang yang melukai, menyakiti dan membunuh-Nya dengan mengatakan ampunilah mereka karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat,” tambahnya.
Semangat inilah yang amat dibutuhkan yakni memaafkan dan mengampuni sesama sehingga dunia ini selalu memancarkan suatu sukacita, kegembiraan, kedamaian dan kebahagiaan.
“Suatu dunia yang betul-betul layak dihuni oleh kita semua tanpa pandang bulu, tanpa pandang dia dari mana, tanpa pandang dia golongan apa status dan sebagainya,” pungkasnya. (Shanty Sang dan Elfrida Sijabat)