44 Kasus Kekerasan Terhadap Anak dan 9 KDRT Terjadi Di Tahun 2022
Foto ilustrasi
MIMIKA, BM
Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2) Mimika mencatat ada 44 kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi pada tahun 2022.
Angka ini merupakan yang tertinggi sepanjang tahun, dengan rincian yakni kekerasan fisik (2), penelantaran (3), kekerasan seksual (32), kekerasan psikis (3) dan hak asuh anak (1) serta anak berhadapan dengan hukum (3).
Bahkan pada akhir Januari 2023 ini sudah tercatat 3 kasus. Setiap tahun angka kasus ini terus mengalami kenaikan.
Sementara, kasus kekerasan dalam rumah tangga (kdrt) pada tahun 2022 tercatat 9 kasus dimana terdiri dar kekerasan fisik (1), penelantaran (6) dan kekerasan psikis (1).
Kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi sebanyak 9 kasus yakni kekerasan fisik (3), penelantaran (3) dan kekerasan psikis (3). Sementara kekerasan terhadap laki-laki yakni psikososial 1.
Kepala Seksi Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Terhadap Perempuan, Yakomina Rumbiak didampingi Kepala Seksi Pemenuhan Hak Anak, Doreina Flassy kepada BeritaMimika, Kamis (26/1/2023) mengakui bahwa sejak 2021 angka kekerasan terhadap anak memang semakin tinggi.
“Anak punya hak untuk pendidikan, kesehatan dan perhatian tumbuh kembang dari orang tua. Orang tua berkewajiban untuk mendidik, mengasuh dan menyekolahkan anak. Disini peran keluarga sangat penting,” katanya.
Dijelaskan, P2TP2 kedepan akan berusaha melakukan sosialisasi di sekolah dan tempat ibadah.
“Benteng awal itu dari rumah tangga, pembinaan mental dan rohani kepada anak harus kuat. Semuanya kembali ke keluarga, pengawasan orang tua harus ketat," jelasnya.
"Kalau dulu tabu tapi pendidikan seks kepada anak itu penting agar mereka tahu bagian mana yang tidak boleh disentuh. Apalagi handphone itu harus diawasi,” ungkapnya.
Adapun penyebab utama kdrt adalah kemiskinan, himpitan ekonomi, budaya patriaki, komunikasi kurang baik di dalam keluarga dan diskriminasi gender.
“Kdrt terjadi kepada istri sah. Kalau kekerasan terhadap perempuan ini psikososial karena punya anak tapi belum menikah jadi kita hanya bisa mendorong untuk hak anak saja karena tidak ada keterikatan,” tuturnya.
“Sementara kalau kekerasan laki-laki masalah perebutan anak. Ibu tinggalkan anak ke suami lalu dia melapor. Saat tinggalkan anak suami yang menafkahi. Suaminya ajak pulang tapi istri tidak mau jadi kita bantu fasilitasi,” pungkasnya. (Elfrida Sijabat)