Ratusan Pekerja Buruh di Timika Tolak UU Cipta Kerja
Para pekerja buruh gelar demo di Kantor Pusat Pemerintahan Mimika, Jalan Poros SP3, Senin (1/5/2023).
MIMIKA, BM
Bertepatan dengan peringatan Hari Buruh Internasional, ratusan pekerja buruh di Timika, Papua Tengah, yang tergabung dalam Serikat Pekerja Buruh, Tongoi Papua, dan pekerja buruh non-serikat menggelar aksi demo di pelataran Kantor Pusat Pemerintahan Mimika, Jalan Poros SP3, Senin (1/5/2023).
Dalam aksi tersebut, para pekerja buruh membawa 12 poin tuntutan yang mana salah satu di antaranya adalah menolak UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.
Salah satu orator, Virgo H. Solossa, yang merupakan perwakilan dari Serikat Pekerja Mandiri Papua menyerukan kepada pemerintah untuk dapat mempertimbangkan kembali poin-poin yang terkandung di dalam UU Cipta Kerja tersebut, terlebih mengenai pemberian kompensasi pesangon.
Menurut Virgo, dengan disahkannya UU Cipta Kerja Nomor 6 Tahun 2023, maka sama saja negara telah melegalkan perbudakan modern.
"Hari ini, negara di seluruh dunia tidak lagi melakukan perbudakan terhadap buruh. Perbudakan itu sudah berusaha dihapus dan tidak ada hari ini. Tapi yang kami kaum buruh sayangkan, tanpa kita sadari melalui Undang-Undang Cipta Kerja, negara yang kita sayangi ini telah melegalkan perbudakan modern," ujarnya.
Virgo mengungkapkan, lahirnya UU Cipta Kerja telah mengurangi hak pesangon para buruh. Tak hanya itu, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak kepada karyawan yang terkena PHK atau pensiun pun tidak lagi menjadi kewajiban mutlak perusahaan.
"Hak pesangon kami pekerja dikurangi, dihilangkan, gaji murah, semua ada di dalam Undang-Undang nomor 6 Cipta Kerja. Kenapa negara bisa mengebiri hak-hak buruh?" Tuturnya.
"Oleh sebab itu, pada kesempatan yang baik ini, kami kaum buruh datang menyampaikan aspirasi kami dan meminta kepada Pemerintah Kabupaten Mimika dan DPRD untuk dapat menyampaikan kepada Pemerintah Pusat sehingga dapat merevisi atau melihat kembali kehadiran Undang-Undang Cipta Kerja tersebut," imbuhnya.
Lebih lanjut menurut Virgo, kebijakan UU Cipta Kerja sendiri sesungguhnya hanya menyasar kepada Usaha Kecil Menengah (UKM). Namun sayangnya, perusahaan sebesar PT Freeport Indonesia malah ingin menggunakan undang-undang tersebut.
"Pertanyaan kami Freeport ini UKM kah? Perusahaan yang baru mau berinvestasikah? Amat sangat disayangkan kalau hari ini PT Freeport mencoba menggunakan ketentuan Undang-Undang Cipta Kerja dalam pembuatan peraturan dan kebijakan, kami tolak!" Tegas Virgo.
"Seperti tadi yang kami sampaikan, tanpa disadari hari ini Freeport menggunakan kontraktor. Jangan bikin perbudakan modern di tempat ini. Kami tidak mau menjadi budak di atas tanah kami," lanjutnya.
Virgo meminta agar PT Freeport Indonesia tetap berpegang pada kebijakan melalui PKPU yang mana menurutnya sudah sangat baik dalam menyejahterakan para buruh.
"Mohon yang sudah baik diteruskan, bukan kembali merujuk kepada Undang-Undang Cipta Kerja terus menghilangkan hak-hak kami yang sudah baik. Bagaimana orang mau pensiun, mau segala sesuatu, perhitungannya ikut Undang-Undang Cipta Kerja, sangat aneh. Kami tolak!" Pungkasnya.
Adapun belasan tuntutan lainnya dituangkan di dalam sebuah dokumen yang kemudian diserahkan kepada pihak Pemerintah Kabupaten Mimika, PT Freeport Indonesia, dan juga DPRD Mimika. Berikut belasan tuntutan tersebut.
1. Meminta kepada Pejabat Gubernur Provinsi Papua Tengah bersama-sama dengan PLT Bupati dan DPRD Kabupaten Mimika serta pihak terkait mengajukan kepada Mahkamah Agung agar segera mengaktifkan penyelenggaraan Pengadilan Hubungan Industrial di Kabupaten Mimika.
2. Pemerintah Kabupaten Mimika segera menyelesaikan dan memberlakukan Peraturan Daerah tentang Proteksi Ketenagakerjaan yang salah satunya mengatur tentang keharusan seluruh Perusahaan di Mimika untuk memprioritaskan dan menerima tenaga kerja orang asli Papua dan pendatang yang sudah lama tinggal di Papua, terutama pencari kerja yang telah terdaftar pada Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi.
3. Meminta Plt Bupati Mimika untuk komitmen melaksanakan pengawasan dan penegakan hukum ketenagakerjaan melalui Disnakertrans dan Pengawas Ketenagakerjaan di Mimika agar lebih optimal dalam penyelesaian perselisihan Hubungan Industrial maupun dalam Pengawasan penegakan hukumnya.
4. Meminta DPRD Mimika mengingatkan Pengusaha PT Freeport Indonesia, bahwa Kepemilikan 51% saham Pemerintah RI di PT Freeport Indonesia harus dapat lebih meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia khusunya pekerja di PT Freeport Indonesia, perusahaan kontraktor dan perusahaan privatisasi serta masyarakat Papua sebagai pemilik hak ulayat.
5. Meminta Plt Bupati Mimika agar segera membuat Surat Perintah kepada Kadisnakertrans agar dalam melakukan Pembinaan Hubungan Industrial selalu memprioritaskan Perlindungan Pekerja. Kadisnakertrans harus bersungguh-sungguh dalam membina Hububgan Industrial harmonis dan berkeadilan dengan menghindari sejauh mungkin adanya PHK terhadap Pekerja/Buruh.
Kemudian kepada Pengawas Ketenagakerjaan yang ada di instansi Disnakertrans Mimika untuk berkomitmen mengoptimalkan Pengawasan Penegakan Hukum Ketenagakerjaan pada perusahaan-perusahaan di Mimika dengan melibatkan Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan perwakilan Pekerja/Buruh.
Pengawas Ketenagakerjaan juga harus menindak tegas pengusaha yang tidak memiliki Peraturan Perusahaan, dan Perjanjian Kerja Bersama (PKB), yang mana telah terbentuk serikat Pekerja/Serikat Buruh di Perusahaan tersebut.
6. Meminta Plt Bupati segera membentuk dan mengoptimalkan LKS TRIPARTIT Kabupaten Mimika dengan melakukan koordinasi dan rapat rutin setiap bulan dengan Pimpinan Serikat Pekerja/Serikat Buruh;
7. Meminta Plt Bupati selaku pembina politik kiranya dapat bersama-sama dengan Manajemen PTFI, KPU, Bawaslu, dan pihak terkait lainnya untuk mencari solusi sehingga kurang lebih 17 ribu pekerja buruh yang bekerja di lingkungan PTFI tidak kehilangan hak pilihnya pada Pemilu 2024.
8. Meminta PT Freeport Indonesia bersama pihak keamanan Obvitnas segera menormalkan kembali jadwal pelayanan Bus SDO seperti jadwal Bus SDO sebelum Covid-19.
9. Meminta PT Freeport Indonesia, perusahaan privatisasi dan kontraktornya untuk tidak melakukan diskriminasi, kriminalisasi, dan penutusan hubungan Kerja sepihak terhadap pekerja buruh, terutama pekerja buruh Papua.
10. PT Freeport Indonesia segera menyelesaikan polemik menyangkut kelanjutan program pembangunan perumahan pekerja buruh (HOPE) sehingga Serikat Pekerja/Serikat Buruh, penghuni, developer, dan pihak terkait lainnya tidak merasa tertipu dan dirugikan.
11. Meminta PT Freeport Indonesia, perusahaan privatisasi dan kontraktornya agar dapat melakukan kewajibannya secara benar, baik, dan bertanggung jawab. (Endy Langobelen)